13/02/17

Sebuah Misteri

Udara malam ini masih tetap sama seperti malam-malam sebelumnya, dingin menusuk tulang. Dari jendela sini, aku masih bisa melihat jutaan bintang yang bertebaran di hamparan langit tak bertepi. Maha suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan langit dan bumi ini beserta segala sesuatu yang melengkapinya. Langit yang luas, gunung-gunung yang menjulang, sungguh seluas apapun pengetahuan hamba-Mu tak akan sanggup menandingi ke-Maha sempurnaan Engkau. Tapi ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Rasa gelisah yang setiap hari, setiap waktu terus menggangguku dan menghantui setiap malamku. Seperti malam ini. Duh, Tuhanku tenangkanlah hati hamba-Mu ini. Tak terasa alam bawah sadarku menggerakkan tanganku untuk menghidupkan radio tua di atas meja kamarku dan terdengarlah lantunan ayat-ayatNya yang indah. Perlahan namun pasti getaran-getaran yang menyejukan mulai merambahi setiap keping hatiku yang kering dan gersang. Sungguh menyejukan. Ku coba benahi posisi dudukku di kursi kayu yang telah termakan usia. Ku tangkupkan kedua lenganku di atas meja yang masih cukup kuat menopang berat badanku meski sudah lumayan lapuk. Juga ditemani lampu temaram yang setia menerangi setiap detik malamku. Dan sekali lagi ku tatap selembar kertas yang hanya bertuliskan salam. Pena masih setia menggelantung di sela-sela jemariku. Hah, pikiranku benar-benar buntu. Tak tahu harus menulis apa. Di tengah lamunanku, tiba-tiba terdengar decit pintu dengan engsel-engselnya yang berkarat tanda ada seseorang yang membukanya. Dengan malas ku tolehkan wajah ini untuk sekedar melihat siapa yang mengunjungiku.
 

“Ah ummi, mengagetkan saja..” sapaku sekenanya. Wanita yang kupanggil ummi itu hanya tersenyum seulas saja, sambil terus berjalan kearahku.
 

“Mencoba menulis surat lagi, Nahla.” Tebakan yang jitu. Aku menunduk malu sekaligus sedih. Malu karena ketahuan dan sedih karena ingat surat ini tak pernah berkembang sejak kucoba menulisnya seminggu yang lalu.
 

“Mmh.. iya ummi.” Anggukku lesu.
 

“Kamu ini, nduk..nduk.. sampai kapan terus diliatin begitu. Lah kamu tulis kata-kata selain salam itu..” tangan ummi mengelus-elus pundakku dengan lembut. Sebenarnya aku pun sedang mencari kata-kata yang tepat yang bisa aku tuliskan di kertas ini. Sayangnya semuanya terasa sia-sia dan buntu. Yang bisa kulakukan saat ini adalah menatap seraut wajah ummi dengan mata senduku dan senyum getirku.
 

“Sedalam apakah perasaanmu pada Farhan nduk?” kata-kata ummi tepat mengenai ulu hatiku. Terasa menancap dalam dan perih. Mulutku kaku, mataku tercekat. Tak sanggup rasanya menahan bendungan air yang akan meluap dari kedua ujung mataku. Teringat sebongkah kenangan yang sulit diruntuhkan. Sembilan tahun yang tak terlupakan. Saat laki-laki itu mulai masuk ke dalam hidupku. Lebih tepatnya saat aku mulai hidup bersamanya dan mengenalnya lebih dalam.
 

“Aku.. aku..” mulutku terasa berat untuk berbicara. Tenggorokanku kering.
 

“Ceritakanlah Nahla.. setidaknya jika memang kamu menganggapku sebagai pengganti ibumu. Ceritakanlah.. walau itu perlahan-lahan. Ummi akan medengarkan.” Sepertinya Ummi tengah menenangkanku. Dan jujur, aku pun merasa mulai tenang. Tangan yang semakin mengkerut itu bergerak mematikan radio tua yang sedari tadi menemani keheningan sesaatku.
 

“Aku mencintainya ummi, sangat-sangat mencintai mas Farhan…” hanya sampai situ aku bisa berbicara, selanjutnya aku kembali membisu.
 

“Melebihi cintamu pada Rabbmu dan rasulmu?” tiba-tiba saja ummi bertanya dengan nada mengancam. Aku sangat terkejut dengan pertanyaannya yang begitu langsung dan serius. Sedetik dua detik aku tak bisa menjawab. Yang terdengar hanyalah helaan nafas yang berat dan panjang. Seolah tengah menurunkan beban yang sangat berat dari pundakku. Aku terus menunduk tak bisa menatap matanya yang tajam namun jernih. Tatapanku beradu dengan kedua kaki keriput Ummi.  Kaki itu kini bergerak kearah kursi kosong dan menyeretnya mendekatiku. Kini ummi duduk berhadapan denganku. Tangannya mulai menggenggam jari-jemariku dengan kuat. Tanda mendesak sebuah jawaban dariku. Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah menggeleng, walau aku tak yakin dengan jawabanku sendiri.
 

“Aku..”
 

“Ceritakanlah dari awal nduk! Ummi ingin mendengar jelas dari mulutmu sendiri.” Bujuk ummi padaku. Kedua tanganku dengan reflek menyapu air mata yang terus mengucur di pipiku. Mencoba menarik nafas dalam-dalam. Dan dimulailah ceritaku yang panjang dan melelahkan. Dengan sabar sekaligus antusias, ummi terus mendengarkan ceritaku. Dari kata ke kata hingga menyambung menjadi sebuah kalimat yang terus mengalir tak terhenti.
 

***
....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar