13/02/17

Nikah

“Nikah?!” halis Latifah bertaut menjadi satu. Matanya membulat seakan tak percaya dengan ucapannya sendiri. Dengan erat tangannya menggenggam bahu Naura tanpa ingin melepaskannya. Mengguncangkan perlahan sambil menatap mata Naura lekat. Bahkan desiran angin yang menyapa dari kaca jendela yang terbuka pun tak membuat Latifa terubai dan melupakan amarahnya.
 

“Dia baru kau kenal beberapa bulan ini, Naura. Sadarlah!”
 

“Aku tahu Fah,” sahut Naura pelan.
 

“Lalu kenapa kau masih bersikeras?”
 

Tak ada jawaban. Naura hanya menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menahannya namun terlalu sesak. Semburat lembayung perlahan tapi pasti merambati mulai dari kaki hingga ke wajah Naura yang tengah bersandar santai di sebuah kursi tua yang terbuat dari kayu jati. Sambil melihat ke sekeliling ruangan yang biasa ia dan Latifah gunakan untuk main saat masih kecil dulu. Semua terlihat sama, seolah barang-barang itu tak bisa dipindahkan oleh siapapun. Bahkan setelah Latifah memiliki ibu baru. Lantai kayu yang masih licin, karpet tua yang tebal dan hangat. Semua begitu persis setelah tujuh belas tahun berlalu.
 

“Dia orang baik Fah,” kata Naura pelan. Dan sekarang giliran Latifah yang menarik nafas berat. Cara berpikir Naura masih sama, terlalu naïf. Berpikir bahwa semua orang baik. Tak peduli siapapun itu.
 

“Itulah jawabanmu selama tujuh belas tahun ini. Dia baik Fah, dia sopan Fah,…” Latifah menirukan nada bicara Naura dengan mudahnya. Sambil berjalan menjauh dari Naura dan kembali duduk di kursi yang berhadapan dengan sahabatnya itu. Latifah kembali menghembuskan nafas berat. Tak rela. Meski sudah bersahabat dari kecil dan sudah belasan tahun, Latifah sering tak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya itu. Sederhana memang, tapi sukar dimengerti. Terlalu ambigu dan kadang itu yang memicu beberapa pertengkaran kecil mereka selama belasan tahun ini.
 

“Aku hanya tak ingin bersu’udhan saja.”
 

“Aku mengerti, tapi adakalanya kita harus waspada dan berjaga-jaga. Tak bisa disamakan dengan berprasangka buruk seperti pemahamanmu. Ayolah Naura, kita harus realistis. Memikirkan segala sesuatu berdasarkan fakta bukan perasaan.”
 

Naura mencoba berpaling dan menenangkan perasaannya yang sudah mulai tak tertata. Ia mengerti betapa khawatir dan sayangnya Latifah pada dirinya. Tapi, pendapatnya kali ini benar. Dan ini sudah menjadi pilihan terbaik untuk dirinya. Ruang keluarga Latifah mulai meremang. Biasan warna orange mulai memudar tergantikan gelap yang menggandeng gulita. Latifah mulai beranjak dari duduknya dan segera meraba saklar yang menempel kuat di dinding ruangan. Blash.. semua menjadi terang dan jelas. Untuk sesaat mata Naura memicing, menyesuaikan dengan cahaya yang berubah secara tiba-tiba.
 

“Beberapa orang memang baik, tapi banyak juga diantara mereka yang… kurang baik. Maksudku, beberapa kasus di berita seperti penculikan, perkosaan bahkan pembunuhan marak terjadi karena kenalan di media sosial. Kau bukan orang bodoh Naura, kau pasti tahu semua berita itu kan?!” Latifah terlihat mulai gemas.
 

Banyak memang beberapa kasus yang terjadi akibat mudah mempercayai orang yang baru dikenal bahkan belum pernah dilihat sekalipun, kecuali hanya lewat foto yang terunggah di media sosial. Bukannya Naura menutup mata dan telinga atas kejadian ini. Tapi kasus yang menimpa dirinya kali ini sangat berbeda dan tak bisa disamakan dengan kasus-kasus serupa tapi tak sama itu.
 

Naura seringkali bergidik saat menonton atau membaca berita-berita mengenai kejahatan di media sosial. Seorang siswa SMP di bawa kabur oleh kenalannya di media sosial, lagi-lagi seorang siswi SMP yang diperkosa dan akhirnya dibunuh oleh kenlannya di media sosial. Ini hanya beberapa kasus dari serangkaian kasus yang terjadi. Bahkan yang membuatnya lebih ngeri adalah kasus yang menimpa teman kampusnya sendiri. Meski tergolong tak terlalu dekat, tapi mereka saling mengenal satu sama lain. Walau dilemma ia mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa pilihannya benar, bukan karena perasaan tapi karena akal sehat.
 

“Malah bengong,” Latifah membuyarkan lamunannya.
 

“Sebelumnya aku mau tanya, emang menurut kamu dasar dari sebuah kepercayaan itu apa sih?”
 

Mendengar pertanyaan Naura, kerongkongan Latifah tercekat, tak bisa berkata apapun selain,
 

“Engh..”
 

***
....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar