16/02/17

Resep Ikan Sarden Kaleng (Manis & Gurih)





Resep Ikan Sarden Kaleng (Manis & Gurih)
Bismillah,
Kembali lagi dengan resep masakan rumahan sederhana ala 'saya'^^
Seperti pada judulnya yakni resep dengan citarasa 'manis dan gurih' memanglah selera dari orang sunda kebanyakan<mungkin lho> dan sebagai urang bandung asli, saya sangat menyukai masakan dengan citarasa tersebut.

Baiklah tanpa berbasa-basi lagi, langsung saja kita buat, let's cook^^

Seorang Penghafal Qur'an

Setiap orang pasti punya sebuah harapan dan cita-cita. Begitu pula dengan saya, ketika pertama kalinya saya tahu bahwa al qur'an bisa dihafal, sejak saat itulah saya berkeinginan menjadi salah satu dari para penghafal qur'an itu. Dan sebelum saya melanjutkan kisah ini lebih panjang, saya ingin anda yang berkunjung ke blog saya dan tengah membaca kisah tahfidz ini untuk meng-aamiin-kan saya agar menjadi seorang penghafal qur'an yang diberkahi oleh Allah. Allahumma aamiin.

14/02/17

Resep Sayur Sawi Putih (Plus Telur & Sosis)

Bismillah^^
Berhubung sedang flu ditambah radang tenggorokkan, sepertinya enak bila makan masakan berkuah-kuah, setuju kan?

Langsung saja kita buat^^

Illahi, Aku Inginkan Cinta

Semua orang tertawa, mereka bahagia, mereka sangat senang melihatku terjatuh di tangga. Badan tersungkur, kacamata terlempar entah ke mana, hingga aku harus meraba-raba mencarinya. Mataku yang minus lima dan silinder dua membuat pandanganku benar-benar kabur. Semua benda terlihat membayang dan tak jelas. Aku hanya bisa mendengar suara orang-orang di sekelilingku yang terus tertawa. Wajahku terasa panas karena malu. Di saat seperti ini, kadang aku merasa lebih baik aku tak ada atau kalau bisa menghilang saja dari permukaan bumi ini.

13/02/17

(Tanpa Judul)

Tepukan sepatu itu terdengar tak berirama. Mungkin karena pemiliknya sedang tak menikmati alunan sepatunya sendiri. Wajahnya mengeras dan keningnya mengkerut. Tak terdengar apapun selain tepukan sepatu itu dan tentunya desahan nafas yang berat dan tak beraturan. Jujur saja, aku bosan dengan situasi seperti ini. Tapi aku tak bisa berbuat apapun. Selain diam tentu saja. Kupandangi satu persatu sahabatku. Mereka semua terlihat sama. Tak ada yang berubah. Ifo, Momo, dan Juwi. Hanya saja ada orang lain diantara kami. Dua orang asing yang berpakaian agak nyentrik dengan kaos belel, jins kedodoran dan potongan rambut yang agak janggal. Yang satu berambut sebahu dan poni yang menjuntai menghalangi sebelah matanya, sementara yang satunya lagi berambut pendek dengan gaya hampir cepak tapi masih sedikit lebih panjang dari cepak makannya tak bisa disebut gaya cepak. Namanya Evo dan Zee. Mereka adalah kenalan Momo. Bisa dibilang Evo dan Zee adalah teman dari dunia maya.

....
 

“Jadi.. kalian dari Semarang??” tanyaku berbasa-basi. Yah, hanya mencoba mencairkan suasana. Evo menatapku sekilas dan kembali memalingkan pandangannya ke bawah, tepat kearah sepatu belelnya. Sementara Zee, sibuk mengeluarkan asap kelabu dari rongga mulutnya. Lama tak ada jawaban. Sampai akhirnya Evo buka mulut.
 

“Ya, begitulah.” Suasana kembali hening. Sesekali terdengar deruan sepeda motor yang melintas di depan kami. Sekitar satu atau dua motor saja. Jalan raya di depan kami ini hanyalah jalan kecil tempat keretek biasa lalulalang. Jarang-jarang ada mobil yang melintasi jalan ini karena itu tadi. Jalannya terlalu sempit

Prolog

Laut mulai mengganas. Angin bertiup kencang, langit semakin gelap. Sebuah kapal terombang-ambing kesana-kemari tergulung ombak. Gelegar petir sahut-menyahut silih berganti. Amukan ombak membuat kapal berukuran sedang dengan panjang sekitar empat meter, lebar dua meter dan tinggi dua setengah meter itu bergerak tak terkendali. Akibat gerakan itu, air laut mulai masuk ke dek kapal dan membanjirinya hingga sebatas mata kaki atau  setinggi lima belas centimeter. Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun berjalan kearah kemudi kapal dan mencoba untuk melawan arus ombak.
 

“Sayang, tarik layarnya!!!” teriak laki-laki itu.
 

Dengan susah payah seorang perempuan yang berumur tak jauh dari laki-laki itu mencoba untuk menangkap isyarat yang diberikan laki-laki itu padanya. Kakinya berjalan limbung, mendekati tungkai layar yang terkembang, deburan ombak menampar-nampar wajahnya yang tertutup kain, berusaha keras untuk menangkap tali pengikat yang melayang-layang terbawa angin. Tangannya berusaha meraih tali itu sekuat tenaga. Kakinya terangkat dan ia pun berhasil mendapatkan tali itu lalu berpegangan erat sehingga memudahkan ia untuk mendekati layar. Tapi goncangan kapal itu terlalu kuat untuk dikendalika oleh seorang perempuan dengan tinggi seratus lima puluh enam centimeter dan berat sekitar empat puluh kilogram. Ia terus bergerak untuk menyeimbangkan tubuhnya. Dengan cepat tangannya mulai menarik-narik layar kapal dengan seutas tali yang ada digenggamannya. Namun baru beberapa tarikan, layar itu tiba-tiba berbalik dan mendorong tubuh kecil wanita itu hingga terjatuh dari kapal!
 

Sementara si laki-laki terus berusaha menyeimbangkan kapal dengan kemudinya. Ombak kali ini sangat kuat sehingga butuh lebih banyak orang lagi untuk bisa mengendalikan kapalnya ini, sementara di kapalnya hanya ada dua orang, ia sendiri dan istrinya saja. Meski sulit ia tetap berusaha berkomunikasi sebaik mungkin dengan isterinya.
 

“Sayang, bagaimana keadaan di sana?!” seru laki-laki itu. Tak ada jawaban ataupun sahutan. Kontan saja laki-laki itu meninggalkan kemudinya menuju badan kapal. Namun ia tak juga menemukan isterinya.
 

“Sayang?! Tari?! Dimana kamu?! Jawab aku!!” laki-laki itu terus berseru. Tapi masih tetap tak ada jawaban. Kakinya melangkah mendekati layar yang telah berubah posisi. Perlahan namun pasti ia mendekati pagar kapal dan melongok ke bawah. Seseorang tengah terapung diayunkan ombak dan tak sadarkan diri.
 

“TARI!!!!”
 

***
....

Mimpi

Semua kisah ini berawal dari sebuah mimpi. Mimpi yang satu demi satu kurajut hingga menjadi cita-cita yang memberiku tujuan dan arah untuk hidup. Singkatnya aku punya sesuatu untuk dicapai. ‘Aku percaya mimpi’ itulah yang selalu kuyakinkan pada diriku sendiri. Sebuah kalimat sederhana yang mampu mengobarkan api semangat dalam hidupku. Meski ku tahu aku bukanlah siapa-siapa, tapi dengan mimpi aku punya sebuah harapan untuk berjuang menjadi seorang manusia yang berguna untuku siapapun. Terlalu teoritis memang, tapi inilah kenyataannya dan inilah mimpiku. Dan ini pulalah yang kuyakini selama tiga puluh tahun ini. Rasanya seperti baru kemarin saja aku merangkai mimpi diatas kasurku sambil sesekali mengintip jutaan bintang dari balik tirai jendelaku, berharap menjadi salah satu bintang yang bercahaya itu. Sungguh lucu ketika itu.
 

Kini aku melakukan hal yang sama seperti masa itu. Memandang jutaan bintang sambil berbaring diatas kasurku dan mengintip dari balik jendela. Bedanya kali ini aku tidur diatas kasur yang sangat empuk dan hangat, jendela yang besar dan langit yang kelam. Tanpa satu bintang pun. Ya, aku tengah memandang bintang di langit Amerika yang begitu redup karena sedang musim dingin. Di sebuah hotel mewah bergaya klasik. Sangat menyenangkan memang, tapi tak sehangat suasana dirumah sederhana orang tuaku yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Sementara di sini aku sendiri, kesepian. Hanya ditemani perapian yang terus menyala dan jendela-jendela yang penuh dengan uap. Pajangan-pajangan yang memenuhi semua sudut dan dinding kamar yang tingginya bisa mencapai empat meter. Tidak berlebihan untuk ukuran hotel semewah ini. Hotel yang terletak di kawasan Jersey City, New Jersey tepat di seberang WTC yang bersejarah. Yang tentuya kini telah pulih kembali dari tragedy yang menimpanya.
 

Sebenarnya, keberadaanku di Amerika itu bukan karena aku tinggal di sini ataupun bermaksud tinggal di sini. Kenyataannya aku di sini untuk penelitian desertasi S3 ku yang rencananya bisa selesai akhir tahun ini. Penelitianku bertema ‘Perkembangan Muslim Amerika selama abad ke 21” yang menuntutku untuk terjun ke lapangan dan tinggal disini untuk beberapa waktu sampai penelitianku selesai. Dan selama dua bulan ini aku baru mengumpulkan beberapa referensi buku dan majalah yang bisa menunjang keakuratan data-dataku, menguji beberapa sample hingga mewawancara keluarga muslim yang bermukim dan telah menjadi Warga Negara Amerika. Meskipun belum rampung semua aku harap beberapa bulan kedepan bisa selesai. Karena aku begitu merindukan keluargaku di Indonesia, negeri tercinta. Negeri penuh kenangan dan penuh perjuangan, sekaligus penuh kepedihan dan juga penindasan. Tapi bagaimanapun buruk atau baiknya negeri itu tetaplah menjadi negeri kelahiranku yang senantiasa aku rindukan di mana pun aku berada.
 

Amerika Serikat, Negara yang memiliki sejuta misteri dan juga sejuta harapan bagi mereka yang mengharapkan hidup makmur. Rata-rata itulah alasan para imigran dari berbagai belahan dunia ketika memutuskan untuk menetap di Negara yang memiliki perusahaan perfilman terbesar yang tak lain Hollywood. Tempat segala perkembangan globalisasi dan juga modernitas. Berbagai kecangnggihan ditawarkan dan dipublikasikan di sini. Lewat film aksi, laga bahkan animasi untuk anak-anak pun tak terlewatkan. Begitulah Amerika Serikat. Mengutip dari buku karya seorang professor, ‘Amerika Serikat banyak dipuja juga banyak dicerca’. Menurutku itu kata-kata yang bagus dan terkesan begitu objektif yang sepertinya terlalu dipaksakan. Tapi ya sudahlah, kita lewatkan saja bagian ini. Toh tak ada gunanya berdebat disini.
 

Tak terasa sudah dua jam aku pelototi layar komputerku. Dan memang sudah banyak juga sesuatu yang aku tulis atau lebih teaptnya aku ketik di keyboard ini. Tapi entah kenapa pikiranku tak juga bisa fokus pada materiku. Jengah rasanya. Sekarang, aku mencoba untuk meregangkan sedikit otot-ototku, jari-jemariku dan juga batang leherku. Krek! Krek! Krek!.. lega rasanya. Ku atur posisiku sesantai mungkin, ku tengadahkan kepalaku, ku gantungkan tanganku dan uga kedua kakiku. Sempurna. Lama aku pada posisi ini. Hingga tak terasa pikiranku tengah melayang-layang menuj masa laluku yang indah sekaligus suram. Masa-masa saat aku di pondok dulu. Saat usiaku baru dua belas tahun dan aku hidup jauh dari kedua orang tuaku dengan tujuan menuntut ilmu.
 

“Pokoknya Eneng mah mau mesantren ibu..” pintaku pada ibu sambil merayu dan merajuk.
 

“Memangnya Eneng teh yakin kitu mau mesantren??” Tanya ibu sekali lagi. Aku tatap mata ibu lekat-lekat, berharap ibu bisa melihat keseriusan tekadku.
 

“Yakin!!” akhirnya aku berseru. Ibu yang walaupun masih muda tapi guratan wajahnya memperlihatkan pahitnya hidup yang diarunginya selama ini. Hingga umurnya yang masih tiga puluh lima tahun sudah terlihat seperti lima puluh tahun. Matanya yang cekung, tulang-tulangnya yang menonjol dan ciri fisik ketuaan lainnya. Tak tega memang meninggalkan ibu sendirian di rumah. Tapi tekadku sudah bulat. Tak ada pilihan lain selain meninggalkan ibu sendirian dirumah bersama kedua saudara laki-lakiku. Aku ingin menjadi orang yang berilmu. Itulah cita-citaku. 



***

....

Sebuah Misteri

Udara malam ini masih tetap sama seperti malam-malam sebelumnya, dingin menusuk tulang. Dari jendela sini, aku masih bisa melihat jutaan bintang yang bertebaran di hamparan langit tak bertepi. Maha suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan langit dan bumi ini beserta segala sesuatu yang melengkapinya. Langit yang luas, gunung-gunung yang menjulang, sungguh seluas apapun pengetahuan hamba-Mu tak akan sanggup menandingi ke-Maha sempurnaan Engkau. Tapi ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Rasa gelisah yang setiap hari, setiap waktu terus menggangguku dan menghantui setiap malamku. Seperti malam ini. Duh, Tuhanku tenangkanlah hati hamba-Mu ini. Tak terasa alam bawah sadarku menggerakkan tanganku untuk menghidupkan radio tua di atas meja kamarku dan terdengarlah lantunan ayat-ayatNya yang indah. Perlahan namun pasti getaran-getaran yang menyejukan mulai merambahi setiap keping hatiku yang kering dan gersang. Sungguh menyejukan. Ku coba benahi posisi dudukku di kursi kayu yang telah termakan usia. Ku tangkupkan kedua lenganku di atas meja yang masih cukup kuat menopang berat badanku meski sudah lumayan lapuk. Juga ditemani lampu temaram yang setia menerangi setiap detik malamku. Dan sekali lagi ku tatap selembar kertas yang hanya bertuliskan salam. Pena masih setia menggelantung di sela-sela jemariku. Hah, pikiranku benar-benar buntu. Tak tahu harus menulis apa. Di tengah lamunanku, tiba-tiba terdengar decit pintu dengan engsel-engselnya yang berkarat tanda ada seseorang yang membukanya. Dengan malas ku tolehkan wajah ini untuk sekedar melihat siapa yang mengunjungiku.
 

“Ah ummi, mengagetkan saja..” sapaku sekenanya. Wanita yang kupanggil ummi itu hanya tersenyum seulas saja, sambil terus berjalan kearahku.
 

“Mencoba menulis surat lagi, Nahla.” Tebakan yang jitu. Aku menunduk malu sekaligus sedih. Malu karena ketahuan dan sedih karena ingat surat ini tak pernah berkembang sejak kucoba menulisnya seminggu yang lalu.
 

“Mmh.. iya ummi.” Anggukku lesu.
 

“Kamu ini, nduk..nduk.. sampai kapan terus diliatin begitu. Lah kamu tulis kata-kata selain salam itu..” tangan ummi mengelus-elus pundakku dengan lembut. Sebenarnya aku pun sedang mencari kata-kata yang tepat yang bisa aku tuliskan di kertas ini. Sayangnya semuanya terasa sia-sia dan buntu. Yang bisa kulakukan saat ini adalah menatap seraut wajah ummi dengan mata senduku dan senyum getirku.
 

“Sedalam apakah perasaanmu pada Farhan nduk?” kata-kata ummi tepat mengenai ulu hatiku. Terasa menancap dalam dan perih. Mulutku kaku, mataku tercekat. Tak sanggup rasanya menahan bendungan air yang akan meluap dari kedua ujung mataku. Teringat sebongkah kenangan yang sulit diruntuhkan. Sembilan tahun yang tak terlupakan. Saat laki-laki itu mulai masuk ke dalam hidupku. Lebih tepatnya saat aku mulai hidup bersamanya dan mengenalnya lebih dalam.
 

“Aku.. aku..” mulutku terasa berat untuk berbicara. Tenggorokanku kering.
 

“Ceritakanlah Nahla.. setidaknya jika memang kamu menganggapku sebagai pengganti ibumu. Ceritakanlah.. walau itu perlahan-lahan. Ummi akan medengarkan.” Sepertinya Ummi tengah menenangkanku. Dan jujur, aku pun merasa mulai tenang. Tangan yang semakin mengkerut itu bergerak mematikan radio tua yang sedari tadi menemani keheningan sesaatku.
 

“Aku mencintainya ummi, sangat-sangat mencintai mas Farhan…” hanya sampai situ aku bisa berbicara, selanjutnya aku kembali membisu.
 

“Melebihi cintamu pada Rabbmu dan rasulmu?” tiba-tiba saja ummi bertanya dengan nada mengancam. Aku sangat terkejut dengan pertanyaannya yang begitu langsung dan serius. Sedetik dua detik aku tak bisa menjawab. Yang terdengar hanyalah helaan nafas yang berat dan panjang. Seolah tengah menurunkan beban yang sangat berat dari pundakku. Aku terus menunduk tak bisa menatap matanya yang tajam namun jernih. Tatapanku beradu dengan kedua kaki keriput Ummi.  Kaki itu kini bergerak kearah kursi kosong dan menyeretnya mendekatiku. Kini ummi duduk berhadapan denganku. Tangannya mulai menggenggam jari-jemariku dengan kuat. Tanda mendesak sebuah jawaban dariku. Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah menggeleng, walau aku tak yakin dengan jawabanku sendiri.
 

“Aku..”
 

“Ceritakanlah dari awal nduk! Ummi ingin mendengar jelas dari mulutmu sendiri.” Bujuk ummi padaku. Kedua tanganku dengan reflek menyapu air mata yang terus mengucur di pipiku. Mencoba menarik nafas dalam-dalam. Dan dimulailah ceritaku yang panjang dan melelahkan. Dengan sabar sekaligus antusias, ummi terus mendengarkan ceritaku. Dari kata ke kata hingga menyambung menjadi sebuah kalimat yang terus mengalir tak terhenti.
 

***
....

Nikah

“Nikah?!” halis Latifah bertaut menjadi satu. Matanya membulat seakan tak percaya dengan ucapannya sendiri. Dengan erat tangannya menggenggam bahu Naura tanpa ingin melepaskannya. Mengguncangkan perlahan sambil menatap mata Naura lekat. Bahkan desiran angin yang menyapa dari kaca jendela yang terbuka pun tak membuat Latifa terubai dan melupakan amarahnya.
 

“Dia baru kau kenal beberapa bulan ini, Naura. Sadarlah!”
 

“Aku tahu Fah,” sahut Naura pelan.
 

“Lalu kenapa kau masih bersikeras?”
 

Tak ada jawaban. Naura hanya menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menahannya namun terlalu sesak. Semburat lembayung perlahan tapi pasti merambati mulai dari kaki hingga ke wajah Naura yang tengah bersandar santai di sebuah kursi tua yang terbuat dari kayu jati. Sambil melihat ke sekeliling ruangan yang biasa ia dan Latifah gunakan untuk main saat masih kecil dulu. Semua terlihat sama, seolah barang-barang itu tak bisa dipindahkan oleh siapapun. Bahkan setelah Latifah memiliki ibu baru. Lantai kayu yang masih licin, karpet tua yang tebal dan hangat. Semua begitu persis setelah tujuh belas tahun berlalu.
 

“Dia orang baik Fah,” kata Naura pelan. Dan sekarang giliran Latifah yang menarik nafas berat. Cara berpikir Naura masih sama, terlalu naïf. Berpikir bahwa semua orang baik. Tak peduli siapapun itu.
 

“Itulah jawabanmu selama tujuh belas tahun ini. Dia baik Fah, dia sopan Fah,…” Latifah menirukan nada bicara Naura dengan mudahnya. Sambil berjalan menjauh dari Naura dan kembali duduk di kursi yang berhadapan dengan sahabatnya itu. Latifah kembali menghembuskan nafas berat. Tak rela. Meski sudah bersahabat dari kecil dan sudah belasan tahun, Latifah sering tak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya itu. Sederhana memang, tapi sukar dimengerti. Terlalu ambigu dan kadang itu yang memicu beberapa pertengkaran kecil mereka selama belasan tahun ini.
 

“Aku hanya tak ingin bersu’udhan saja.”
 

“Aku mengerti, tapi adakalanya kita harus waspada dan berjaga-jaga. Tak bisa disamakan dengan berprasangka buruk seperti pemahamanmu. Ayolah Naura, kita harus realistis. Memikirkan segala sesuatu berdasarkan fakta bukan perasaan.”
 

Naura mencoba berpaling dan menenangkan perasaannya yang sudah mulai tak tertata. Ia mengerti betapa khawatir dan sayangnya Latifah pada dirinya. Tapi, pendapatnya kali ini benar. Dan ini sudah menjadi pilihan terbaik untuk dirinya. Ruang keluarga Latifah mulai meremang. Biasan warna orange mulai memudar tergantikan gelap yang menggandeng gulita. Latifah mulai beranjak dari duduknya dan segera meraba saklar yang menempel kuat di dinding ruangan. Blash.. semua menjadi terang dan jelas. Untuk sesaat mata Naura memicing, menyesuaikan dengan cahaya yang berubah secara tiba-tiba.
 

“Beberapa orang memang baik, tapi banyak juga diantara mereka yang… kurang baik. Maksudku, beberapa kasus di berita seperti penculikan, perkosaan bahkan pembunuhan marak terjadi karena kenalan di media sosial. Kau bukan orang bodoh Naura, kau pasti tahu semua berita itu kan?!” Latifah terlihat mulai gemas.
 

Banyak memang beberapa kasus yang terjadi akibat mudah mempercayai orang yang baru dikenal bahkan belum pernah dilihat sekalipun, kecuali hanya lewat foto yang terunggah di media sosial. Bukannya Naura menutup mata dan telinga atas kejadian ini. Tapi kasus yang menimpa dirinya kali ini sangat berbeda dan tak bisa disamakan dengan kasus-kasus serupa tapi tak sama itu.
 

Naura seringkali bergidik saat menonton atau membaca berita-berita mengenai kejahatan di media sosial. Seorang siswa SMP di bawa kabur oleh kenalannya di media sosial, lagi-lagi seorang siswi SMP yang diperkosa dan akhirnya dibunuh oleh kenlannya di media sosial. Ini hanya beberapa kasus dari serangkaian kasus yang terjadi. Bahkan yang membuatnya lebih ngeri adalah kasus yang menimpa teman kampusnya sendiri. Meski tergolong tak terlalu dekat, tapi mereka saling mengenal satu sama lain. Walau dilemma ia mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa pilihannya benar, bukan karena perasaan tapi karena akal sehat.
 

“Malah bengong,” Latifah membuyarkan lamunannya.
 

“Sebelumnya aku mau tanya, emang menurut kamu dasar dari sebuah kepercayaan itu apa sih?”
 

Mendengar pertanyaan Naura, kerongkongan Latifah tercekat, tak bisa berkata apapun selain,
 

“Engh..”
 

***
....

12/02/17

Saat Senja

Suara jangkrik mendengking-dengking tanpa jeda, seolah mereka tak pernah merasa lelah. Seirama dengan warna langit yang mulai kelam. Tapi cahaya orange yang indah tak Nampak di balik gumpalan awan. Hanya berubah gelap saja. Kegelapan yang perlahan-lahan merayap dari balik jendela kamarku dan masuk ke dalamnya tanpa permisi. Membuat mata yang tengah sibuk menari-nari di atas buku berwarna pink karangan Caryn Mirriam-Goldberg, terasa semakin berat. Pandanganku berpaling melihat seantero kamar yang meremang. Jilbab merah jambu tergeletak malas di pinggiran kasur. Laptop menyala dengan terpaksa. Mataku berdenyut-denyut, dengan segan badan ini bangkit dan menutup kain gorden, menyalakan lampu dan kembali merebah melanjutkan bacaan yang belum terampungkan.

Secawan Cinta

Aku seorang santriwati yang mencoba menggebrak garis batas cinta. Bermain-main apinya, tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
 

Dia santri kakak tingkatku. Entah apa yang merasuk kedalam bilik hatiku, aku memujanya. Dia tampan? Mungkin. Dia tinggi? Tidak. Lalu? Entahlah gejolak ini tiba-tiba saja hadir.
Jika mereka ibaratkan cinta dengan secawan anggur, maka aku telah mabuk. Perhatiannya, membuat wanita sepertiku jatuh tersipu. Hingga aku lupa, jati diri sebagai penuntut ilmu bukan pencari cinta.

Rabb Bawa Aku Kembali!

Tatapan orang-orang semakin aneh. Cipratan ludah mereka saat mendesis begitu menjijikan, ditambah dengan delikan mata mereka yang begitu tajam.
 

“Apa yang sedang kamu pikirkan?!” seorang wanita menatapku lurus. Sangat menusuk. Ruangan tanpa jendela yang begitu menyesakan. Cahaya lampu tak pernah padam, meskipun siang hari. Panas. Aku benci ruangan ini.

Hidup Sebagai Muslim Rusia

Dinginnya es tak menyurutkan semangat muslim rusia untuk tetap meneguhkan iman dengan menjalan perintah dari Allah Swt. Sholat di atas es agaknya sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Bersujud kepada Allah di atas dingin dan basahnya salju tak menguranggi kekhusuan mereka dalam meraih mahabah-Nya. Allahu Akbar!!

Tak diberi lahan khusus tak membuat mereka berputus asa dan berpangku tangan. Mesjid yang bisa dihitung jari dan itupun peralihan fungsi dari gereja menjadi mesjid tak membuat muslim rusia merasa berbeda dari umat muslim di negara-negara lain. Karena pada hakikatnya muslim adalah satu, tak memandang dari negara asal mana, ras apa, suku apa dan tingkat sosial mana saja.

Mari sama-sama kita teladani semangat mereka menuju ridha Allah Swt. Keteguhan mereka menjaga iman dan islam, juga kesabaran mereka dalam menjalani ujian dan cobaan yang tak ringan seperti di kota Moscow. Aamiin.

Wallahu'alam

Meraih Ridha Allah Dengan Mencintai-Nya

Kadang kita salah mengira bahwa ibadah kita ditunjukan agar kita masuk surga dengan pahala yang diberikan-Nya. Bukan karena ingin meraih ridha dan cinta-Nya. Kita meninggalkan larangan-Nya, karena kita takut akan siksa-Nya di neraka. Bukan karena takut kehilangan cinta-Nya.

Benar sekali jika ada diantara kita yang mrngatakan bahwa cinta-Nya pada kita melebihi cinta seorang ibu kepada anaknya. Tapi apakah kita tak sangsi bila cinta itu mulai memudar karena kita terus menjauhi-Nya. Hanya hati kita sendirilah yang dapat menjawabnya.

Bagi kita yang tengah berusaha mencintai-Nya dengan mencari ridha-Nya, bergembiralah kaerna Allah membrikan kuncinya:

  • Beriman kepada Allah dan bertaqwa pada-Nya
  • Rendah hati dan tawakal pada Allah
  • Bersyukur dan bersabarlah; sabar dalam ketaatan pada-Nya, sabar menjauhi maksiat pada-Nya dan sabar menghadapi musibah.
  • Berakhlak mulia dan tidak riya
  • Peduli pada sesama dan tidak berputus asa akan rahmat-Nya
  • Ikhlas dalam berderma
Mudah-mudahan kita bisa menjadi orang-orang yang mengamalkan kunci cinta-Nya tersebut. Meskipun tidak semua bisa kita amalkan, setidaknya ada salah satunya yang menjadi andalan kita dalam beramal. Dengan begitu mudah-mudahan kita mendapat ridha Allah yang secara otomatis akan mendapat paket komplit berupa pahala dan surga-Nya. Aamiin.

Wallahu'alam

Inginkan Hati Hanya Untuk-Nya

Cinta membuat orang jadi gila. Cinta membuat orang kadang merasa lelah. Cinta kadang kala menyita banyak waktu dan tenaga. Tapi kita tak sadari cinta yang setulus-tulusnya cinta. Cinta antara Tuhan dan makhluk-Nya.

Hidup Untuk Beramal





Beramal kadang terasa berat saat iman berada di bawah. Semangat hidup menurun, dan motivasi untuk maju tak lagi membara.

Awal Yang Baru


Seringkali kita sulit memulai sesuatu dalam beberapa atau berbagai hal. Seperti kata pepatah, 'langkah awal itu sulit'. Dan untuk langkah selanjutnya sangat ditentukan oleh keberhasilan langkah pertama kita.

Begitu juga dengan awal baru yang kita harapkan. Awal baru yang bisa memberikan perubahan-perubahan positif bagi kehidupan kita. Apapun profesi kita, bagaimanapun tingkat ekonomi kita dan siapapun kita, pastilah membutuhkan suatu awal yang baru untuk sekedar mengalihkan kejenuhan atau demi masa depan yang lebih baik.

Awal yang baru membutuhkan sebuah persiapan yang matang, perencanaan yang sesuai dan kesiapan mental untuk survive dan menjaga kobaran motivasi diri agar terus menyala.

Marilah kita mulai dengan sebait doa, take action dan bertawakal pada-Nya. menjemput awal baru yang penuh kegemilangan.


Wallahu'alam