14/02/17

Illahi, Aku Inginkan Cinta

Semua orang tertawa, mereka bahagia, mereka sangat senang melihatku terjatuh di tangga. Badan tersungkur, kacamata terlempar entah ke mana, hingga aku harus meraba-raba mencarinya. Mataku yang minus lima dan silinder dua membuat pandanganku benar-benar kabur. Semua benda terlihat membayang dan tak jelas. Aku hanya bisa mendengar suara orang-orang di sekelilingku yang terus tertawa. Wajahku terasa panas karena malu. Di saat seperti ini, kadang aku merasa lebih baik aku tak ada atau kalau bisa menghilang saja dari permukaan bumi ini.
Buku-buku yang kubawa untuk dikembalikan ke perpustakaan kampus pun jatuh berhamburan. Kuraih buku-buku yang ada di sekitarku dengan terburu-buru. Lebih baik aku lekas pergi.  Tapi tanganku satu-satunya ini belum merasakan keberadaan kacamata tua warisan nenek di masa penjajahan yang antik dan sangat berharga. Jika kacamata itu rusak atau hilang, maka takan pernah kudapatkan gantinya kemanapun aku cari. Terlebih lagi almarhum nenek akan kecewa dan sedih karena aku tak bisa menjaganya dengan baik. Aku menjulurkan tangan untuk meminta tolong, tapi tak ada satu tangan pun yang mengulurkan bantuannya untukku. Mungkin karena tanganku hanya satu, mereka jadi jijik dan menganggapku makhluk yang aneh. Bahkan untuk menolongku saja mereka enggan. Di tengah keputusasaan kudengar suara kaki menendang sesuatu dan tepat mengenai telapak tanganku yang tengah meraba-raba. Kacamataku kembali!! Segera kupakai lagi alat pembantu penglihatan itu dan mengambil sisa-sisa buku yang terlempar jauh. Dengan hati yang begitu pedih aku berusaha keras untuk bangkit, alhamdulillah aku pun bisa bangkit dan berdiri pergi meninggalkan semua orang itu.
 

“Awwsshh.. ya Allah sakit sekali.” Rintihku di bangku taman yang sedang sepi. Sekilas pandanganku menyapu area taman kampus yang biasanya ramai dengan orang-orang. Aneh, di jam-jam kelas yang kosong seperti ini, taman kampus terlihat sepi dan sunyi. Hanya ada suara angin dan gemerisik daun yang terus bergoyang.
 
“Kamu gak apa-apa?” Tanya seseorang dengan lembut. Kulihat seorang gadis seusiaku tengah duduk di sampingku. Jilbabnya berkibar anggun. Aku tertegun sendiri melihat pakaiannya yang begitu tertutup. Wajahnya  ayu dan tatapannya teduh. Ia terlihat begitu dewasa. Tapi sesuatu dalam hati terasa menggelitik saat melihat senyumnya yang lebar namun anggur. Rona wajah yang terasa taka sing bagiku. Seolah menawarkan keakraban yang lama ingin kurasakan lagi. Ronanya hangat dan menyenangkan.
 

“Aku..” tiba-tiba saja lidahku kelu. Aku tak bisa menceritakan kejadian tadi. Terlalu menyakitkan.
 

“Kamu terluka, aku antar ke klinik ya..” gadis itu menawarkan bantuannya padaku. Jujur saja, selama ini belum pernah ada orang yang memperlakukanku sebaik ini. Orang-orang biasanya hanya memandangku sebelah mata dan cenderung menghindar dariku. Tapi gadis ini?! Ia begitu berbeda.
 

“Gak usah, aku ada mata kuliah siang ini. Maafkan aku.” Kataku setengah ketus. Aku tak menyangka dengan apa yang kuucapkan barusan. Kenapa malah kata-kata yang jahat keluar dari mulutku?! Gadis itu tersenyum lembut. Ia malah memapahku dan membantuku berdiri.
 

“Kita ke klinik dekat kampus saja. Kalau kita cepat, insya allah tak akan terlambat.” Akhirnya aku hanya mengangguk dan mengikuti sarannya.
 

***
 

Namanya Zahra. Dia satu fakultas denganku, hanya saja jurusan kami berbeda. Aku bahasa Indonesia sedangkan Zahra bahasa Inggris. Ia benar-benar gadis yang baik, terlihat dari senyumnya yang tulus. Dari dasar hatiku, aku ingin dia bersamaku dan menjadi teman yang lama tak kumiliki. Tapi, aku tak mau orang-orang dekat denganku hanya karena rasa kasihan. Aku tak mau dikasihani orang. Bukan berarti karena aku cacat, aku lemah. Aku benar-benar tak butuh rasa kasihan mereka!!
 

“Nina?!” seru seseorang dari belakangku. Dan saat kulihat ternyata Zahra.
 

“Zahra?”

“Kamu mau ke perpustakaan?” tanyanya dengan wajah ceria. Aku beringsut menjauh. Aku tak ingin Zahra malu karena ia dekat dengan orang cacat seperti aku.
 

“Loh, kok kamu malah menjauh?” tanya Zahra heran. Ia gadis baik, aku tak mau ia jadi bahan olok-olokan orang lain karena aku.
 

“Aku cacat, kenapa kamu malah mendekatiku?!” tanyaku dengan nada agak meninggi. Zahra tersentak kaget. Keningnya bertaut.
 

“Astagfirullah.. kenapa kamu bicara seperti itu Nina?” sepertinya Zahra terluka dengan perkataanku. Tapi aku tak mau peduli. Menurutku lebih baik begini. Justru, jika Zahra terus bersamaku, ia akan lebih terluka. Tak mudah orang berteman denganku. Perlu resiko besar jika mereka benar-benar ingin jadi temanku atau sekedar bertegur sapa denganku. Aku tahu saat ini orang-orang sudah mulai menghargai kaum dipable seperti aku. Sayangnya orang-orang itu tak ada di dekatku. Mereka jauh di kota lain. Yang ada di dekatku hanyalah orang-orang yang masih risih melihat orang seperti aku berkeliaran di sekitar mereka. 
Dalam benakku, mungkin mereka ingin aku di pasung saja. Jauh dari lingkaran masyarakat. Tapi aku tak sudi!!
 

“Aku tahu kemarin kamu sudah menolongku, terima kasih. Tapi aku mohon jangan menggangguku lagi. Aku lebih suka sendiri.”
 

***
 

Aku lebih suka menyendiri, jauh dari orang-orang. Sendiri itu menurutku lebih baik. Karena tak akan ada orang yang menghina dan mengejek kekuranganku. Sejak kecil aku tak pernah punya teman. Kalaupun ada, paling-paling hanya untuk mencontek PR atau membantu mereka dalam ulangan. Tak pernah ada yang mau berteman denganku secara tulus. Dan itu sudah cukup membuatku terluka. Untuk itu aku memilih sendirian.
 

Aku jadi ingat, pernah suatu hari, saat aku masih SMP ada sekelompok siswi cantik dan modis mendekatiku. Aku kira mereka tulus. Tapi ternyata mereka hanya memanfaatkan aku. Lagi dan lagi. Bahkan mereka pernah mengejekku di depan umum.

“Emangnya siapa sih yang mau temenan sama orang buntung kaya kamu!!” wajahku memerah. Aku malu bercampur marah. Mereka benar-benar keterlaluan.
 

“Lebih baik aku buntung tangan! Daripada harus buntung akal seperti kalian!!” teriakku pada mereka. Baru kali ini aku berlaku kasar pada orang lain. Sesering apapun orang-orang itu menghinaku aku mencoba untuk menganggapnya sebagai angin lalu. Tapi kali ini aku jengah dan tak bisa menahan diri lagi. Semut yang kecilpun bisa menggigit bila terinjak, apalagi aku. Aku manusia yang punya akal dan harga diri. Meskipun tak sempurna aku tetap berhak untuk dihargai. Sejak saat itu aku benar-benar menutup diri pada siapapun. Tak ada celah bagi hatiku untuk menerima orang-orang itu lagi.
 

“Nina?!” seru Ibu kepala perpustakaan. Aku kaget dan lamunanku buyar seketika. Melihat bu Darma yang memasang wajah kecut, aku jadi gelagapan.
 


“Mau pinjam buku atau tidak?!”
 

“I..iya.. saya mau bu, lima buku ini saja.” Kataku mencoba menghilangkan kegugupanku.
 

“Saya juga bu, dua buku ini..” kata seseorang di belakangku. Aku tak menoleh karena aku tak peduli siapapun dia. Tapi saat tanganku ingin meraih buku-buku pinjamanku, seseorang telah mengambilnya lebih dulu. Dan saat kulihat pemilik si tangan itu ternyata Zahra.
 

“Aku bantu,” katanya pendek. Tanpa menunggu jawabanku Zahra langsung pergi tanpa memperdulikanku lagi. Aku tak bisa diam saja. Aku coba mengejar langkahnya yang mulai menjauh.
 

“Zahra! Tunggu..!!” seruku dari belakangnya. Ia berhenti, tapi tak menoleh.
 

“Aku membantumu bukan karena aku kasihan padamu.” Katanya pendek. aku tercenung. Benarkah bukan karena kasihan?!
 

“Aku membantumu karena Allah. Allah dan rasul-Nya memerintahkanku membantu siapapun tanpa pandang bulu. Bukan karena orang itu kaya, miskin, cantik atau jelek. Tapi karena ikhlas tanpa mengharapkan balasan apapun dari siapapun, kecuali dari Allah!” lanjutnya dengan tegas. Jujur, aku tak pernah mendengar jawaban seperti ini. Aku jadi heran pada gadis bernama Zahra ini. Sebenarnya apa yang ada dalam benaknya?!
 

“Baiklah, tapi biarkan aku membawa buku-bukuku beberapa buah saja,” kataku menyerah. Zahra tersenyum lebar. Langkahnya di perlambat agar sejajar denganku. Sepanjang perjalanan ia tak banyak bicara, begitupun aku. Terkadang ia bercerita pendek tentang hal-hal yang menurutku remeh. Tapi entah kenapa jika ia yang menceritakannya aku tak merasa bosan apalagi jenuh. Ini sungguh aneh.
 

“Aku ke kelas duluan ya, dah..!!” Zahra berpamitan dengan ceria.
 

*** 
.....



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar