12/02/17

Secawan Cinta

Aku seorang santriwati yang mencoba menggebrak garis batas cinta. Bermain-main apinya, tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
 

Dia santri kakak tingkatku. Entah apa yang merasuk kedalam bilik hatiku, aku memujanya. Dia tampan? Mungkin. Dia tinggi? Tidak. Lalu? Entahlah gejolak ini tiba-tiba saja hadir.
Jika mereka ibaratkan cinta dengan secawan anggur, maka aku telah mabuk. Perhatiannya, membuat wanita sepertiku jatuh tersipu. Hingga aku lupa, jati diri sebagai penuntut ilmu bukan pencari cinta.
Hari-hari setelah para asatidz (guru) menyebarkan benih ilmu di kelas dirosah, kami berbagi sepucuk pengalaman hari dan hati lewat selembar kertas yang terselip di balik kitab yang ditukar oleh seseorang kepercayaanku dan dia. Indah nian kala kata demi kata yang dia tuliskan itu tertuju padaku. Seperti lupa apa yang guru ajarkan, apa yang kitab wasiatkan dan apa yang Allah dan rasul-Nya titahkan.
 

Tapi tiba-tiba semuanya berubah. Tak ada lembar-lembar penuh kasih, tak ada curian pandang selepas jama’ah, dia terasa dingin dan angkuh. Aku tak tahu sebab apa dia berlaku demikian. Sehari, dua hari hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kukirim lembar demi lembar surat kasih, tak pernah berbalas walau hanya sepucuk saja. Aku meranggas, seolah kehilangan separuh alur kehidupanku.
 

Kala aku merasa pasrah dan tak pernah mengiriminya lagi surat ‘rahasia’ itu, sebait pesan di sampaikan seseorang langsung padaku. Pesan itu dari dia.
 

“Dia memintamu menemuinya di warung belakang aula selepas kajian ashar.” Begitulah pesan itu berbunyi. Detak jantungku berpacu bagai kuda di arena balapan. Sebelumnya aku dan dia tak pernah bertemu secara langsung, apalagi hanya berdua! Tidak, aku tak bisa melakukan itu. Aku takut sesuatu akan terjadi. Aku menolak, dan sebagai gantinnya sepucuk surat itu hadir.
 

Assalamualaiki, aku tahu kamu pasti terluka. Tak perlu berbasa-basi lagi, aku dijodohkan oleh Ayah dan akan menikah selepas idul fitri nanti, insya Allah. Gadis itu putri teman ayah, dan setelah melihatnya, jujur aku jatuh hati padanya. Sebenarnya, perjodohan sudah terjadi jauh sebelum kita menjalin hubungan ini. Sebelumnya Aku dan gadis itu bertengkar, aku kira kami akan berpisah hingga aku menjalin hubungan ini. Kini kami sudah berbaikan.    
Jujur saja aku lebih mencintanya dibandingkan kamu, jadi maaf kita harus berhenti sampai disini.  Salam.


Tanganku bergetar,  bulir itu hampir saja jatuh mebasahi pipi tapi kutahan sekuat tenaga. Apa salahku?! Di puncak rasa cintaku padanya, dia malah mehempaskan dan membuangku begitu saja seperti seonggok kotoran?! Hati ini hancur tapi aku tak sudi meneteskan air mata. Aku benar-benar bodoh, bisa tertipu dengan buaian palsunya! Seperti mimpi, kemarin aku memuja dan mencintainya, tapi hari ini aku benar-benar membencinya.
 

Seperti di sengat lebah, aku tersadar sesuatu yang selama ini telah terlupakan. Tahajjudku! Dzikirku! Dan tilawahku! Aku gadaikan semua itu demi dia?! Ah aku benar-benar dungu, tergelapkan buaian cinta palsu dan semu.
 

Siapa yang akan mencintaiku tanpa pernah menorehkan luka? Aku tahu jawabannya, tapi aku abaikan. Siapa yang menyatakan cinta abadi dan takkan pernah berpaling? Aku tahu jawabannya, tapi tak aku hiraukan. Duhai Allah, Engkau sadarkan aku dengan luka ini. Engkau kembalikan aku pada-Mu dengan penghinaan dia padaku. Aku bertaubat Rabb!!! Kembalikan aku dalam mahabbah-Mu yang suci. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar