12/02/17

Rabb Bawa Aku Kembali!

Tatapan orang-orang semakin aneh. Cipratan ludah mereka saat mendesis begitu menjijikan, ditambah dengan delikan mata mereka yang begitu tajam.
 

“Apa yang sedang kamu pikirkan?!” seorang wanita menatapku lurus. Sangat menusuk. Ruangan tanpa jendela yang begitu menyesakan. Cahaya lampu tak pernah padam, meskipun siang hari. Panas. Aku benci ruangan ini.
“Ini International High School, dan kamu tahu itu..” kupalingkan wajah. Aku tak ingin mendengarkan dia.
 

“Apa yang kamu pikirkan?!” aku tak menjawab. Mataku tertuju pada jam yang menggantung kaku di dinding. Pukul sebelas.
 

“Saya tahu kamu itu tidak mampu. Tapi tolong jangan mempermalukan sekolah ini. Bicaralah! Apa masalahmu?!” kening itu semakin berkerut.
 

Suara ketukkan jarinya di meja membuat aku ingin menjerit. Wanita ini terlalu cerewet. Terlalu ingin tahu semua permasalahanku yang menggunung. Tak peduli apapun yang terjadi, kata-kataku tak akan merubah keadaan. Mulutku bungkam.
 

“Teman-temanmu bilang kamu tak pernah mau bicara, selalu menyendiri dan tak mau berbaur.”
 

Berbaurpun tak ada gunanya. Mereka selalu menjauh dan menganggapku tak ada. Jadi lebih baik menghindar.
 

Betapa heran melihat wanita itu selalu bersikap seolah peduli. Padahal ia membutuh sesuatu di balik profesi ini. Tak tulus.
 

“Kamu harus bicara!!”
 

“Allahu Akbar.”
 

Kakiku bergoyang cepat, tubuhku mulai gemetar. Udara di ruangan ini semakin panas. Dadaku sesak, aku ingin keluar!!!




Melihat perubahanku air mukanya berubah. Dengan cepat tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam laci mejanya. Sesuatu yang kecil namun tajam. Sesuatu yang sangat aku takuti. Ia menjentik-jentikan jarinya di ujung benda itu. Badanku terus berguncang semakin keras. Kursi yang kududuki serasa terbang dan memantul-mantul.
 

“Tenang, kamu harus menenangkan dirimu.” Akhirnya benda itu masuk dalam tubuhku, menyemburkan cairan asing. Aku ingin lari.
 

Keringat bercucuran, nafasku masih terengah-engah, tapi mataku terasa berat untuk membuka. Apa yang terjadi?!
 

“Kamu sudah bangun?”
 

“Astagfirullah..”
 

Ketukan pensil terasa memekakan telingaku. Kepalaku semakin berdenyut dan pikiranku semakin melayang jauh entah kemana.
 

“Semua isi soal dalam ujianmu tak ada yang nyambung. Astagfirullah, alhamdulillah, subhanallah, apa itu jawaban untuk soal matematika?! Ini jelas tak logis!!”
 

Mulutku menggigil. Rasa panas tadi berubah jadi dingin yang begitu menusuk. Aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi?!
 

Wanita itu kembali mengeluarkan benda menakutkan itu dan langsung menusukannya kembali ke lenganku. Aku meronta tapi sia-sia.
 

“Saya lelah harus terus seperti ini!! Lelah berbicara padamu sementara kamu tak merespon sama sekali. Tolonglah, bekerjasamalah denganku! Ini sudah ketiga mingggunya kita melakukan hal ini. Apa salahnya jika kamu bicara dan cerita?!”
 

Kupalingkan wajah ke kiri dan ke kanan, lagi, lagi dan lagi. Terus berulang hingga tak tahu sudah berapa kali kupalingkan wajah ini. Tiba-tiba benda runcing yang disebut suntikan itu kembali menancap di lenganku. Berkali-kali suntikan itu ditancapkan padaku hanya dalam satu hari. Dan terus berulang selama tiga minggu ini. Aku semakin tak bisa berpikir jernih. Aku limbung dan semuanya jadi gelap.
 

***
Saat kubuka mata, aku sudah di rumah, kamar sempit dan gelap tanpa listrik. Himpitan ekonomi yang semakin mencekik tak memungkinkan lagi untuk membayarkannya pada PLN.
Melihatku Ibu menangis dan aku tak berdaya. Tatapanku nanar dan hambar.
 

“Nak, ibu di sini..” aku bergeming. Terdengar beberapa orang di sampingku.
 

“Sudah dibawa berobat?”
 

“Belum.”
 

“Lebih baik bawa ke RSJ saja...”
 

Ya, mereka bilang aku skizofernia, aku bisa dengar itu. Tapi, tak ada yang bisa kulakukan. Tubuhku terasa lemas dan lumpuh. Tak sanggup lagi lari dari keadaan ini. Aku ingin kembali seperti dulu, saat semua orang masih menganggapku sehat. Aku ingin kembali memimpin takbir di malam idul fitri, saat semua orang masih menganggapku mampu. Aku ingin kembali… Rabb.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar