13/02/17

Mimpi

Semua kisah ini berawal dari sebuah mimpi. Mimpi yang satu demi satu kurajut hingga menjadi cita-cita yang memberiku tujuan dan arah untuk hidup. Singkatnya aku punya sesuatu untuk dicapai. ‘Aku percaya mimpi’ itulah yang selalu kuyakinkan pada diriku sendiri. Sebuah kalimat sederhana yang mampu mengobarkan api semangat dalam hidupku. Meski ku tahu aku bukanlah siapa-siapa, tapi dengan mimpi aku punya sebuah harapan untuk berjuang menjadi seorang manusia yang berguna untuku siapapun. Terlalu teoritis memang, tapi inilah kenyataannya dan inilah mimpiku. Dan ini pulalah yang kuyakini selama tiga puluh tahun ini. Rasanya seperti baru kemarin saja aku merangkai mimpi diatas kasurku sambil sesekali mengintip jutaan bintang dari balik tirai jendelaku, berharap menjadi salah satu bintang yang bercahaya itu. Sungguh lucu ketika itu.
 

Kini aku melakukan hal yang sama seperti masa itu. Memandang jutaan bintang sambil berbaring diatas kasurku dan mengintip dari balik jendela. Bedanya kali ini aku tidur diatas kasur yang sangat empuk dan hangat, jendela yang besar dan langit yang kelam. Tanpa satu bintang pun. Ya, aku tengah memandang bintang di langit Amerika yang begitu redup karena sedang musim dingin. Di sebuah hotel mewah bergaya klasik. Sangat menyenangkan memang, tapi tak sehangat suasana dirumah sederhana orang tuaku yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Sementara di sini aku sendiri, kesepian. Hanya ditemani perapian yang terus menyala dan jendela-jendela yang penuh dengan uap. Pajangan-pajangan yang memenuhi semua sudut dan dinding kamar yang tingginya bisa mencapai empat meter. Tidak berlebihan untuk ukuran hotel semewah ini. Hotel yang terletak di kawasan Jersey City, New Jersey tepat di seberang WTC yang bersejarah. Yang tentuya kini telah pulih kembali dari tragedy yang menimpanya.
 

Sebenarnya, keberadaanku di Amerika itu bukan karena aku tinggal di sini ataupun bermaksud tinggal di sini. Kenyataannya aku di sini untuk penelitian desertasi S3 ku yang rencananya bisa selesai akhir tahun ini. Penelitianku bertema ‘Perkembangan Muslim Amerika selama abad ke 21” yang menuntutku untuk terjun ke lapangan dan tinggal disini untuk beberapa waktu sampai penelitianku selesai. Dan selama dua bulan ini aku baru mengumpulkan beberapa referensi buku dan majalah yang bisa menunjang keakuratan data-dataku, menguji beberapa sample hingga mewawancara keluarga muslim yang bermukim dan telah menjadi Warga Negara Amerika. Meskipun belum rampung semua aku harap beberapa bulan kedepan bisa selesai. Karena aku begitu merindukan keluargaku di Indonesia, negeri tercinta. Negeri penuh kenangan dan penuh perjuangan, sekaligus penuh kepedihan dan juga penindasan. Tapi bagaimanapun buruk atau baiknya negeri itu tetaplah menjadi negeri kelahiranku yang senantiasa aku rindukan di mana pun aku berada.
 

Amerika Serikat, Negara yang memiliki sejuta misteri dan juga sejuta harapan bagi mereka yang mengharapkan hidup makmur. Rata-rata itulah alasan para imigran dari berbagai belahan dunia ketika memutuskan untuk menetap di Negara yang memiliki perusahaan perfilman terbesar yang tak lain Hollywood. Tempat segala perkembangan globalisasi dan juga modernitas. Berbagai kecangnggihan ditawarkan dan dipublikasikan di sini. Lewat film aksi, laga bahkan animasi untuk anak-anak pun tak terlewatkan. Begitulah Amerika Serikat. Mengutip dari buku karya seorang professor, ‘Amerika Serikat banyak dipuja juga banyak dicerca’. Menurutku itu kata-kata yang bagus dan terkesan begitu objektif yang sepertinya terlalu dipaksakan. Tapi ya sudahlah, kita lewatkan saja bagian ini. Toh tak ada gunanya berdebat disini.
 

Tak terasa sudah dua jam aku pelototi layar komputerku. Dan memang sudah banyak juga sesuatu yang aku tulis atau lebih teaptnya aku ketik di keyboard ini. Tapi entah kenapa pikiranku tak juga bisa fokus pada materiku. Jengah rasanya. Sekarang, aku mencoba untuk meregangkan sedikit otot-ototku, jari-jemariku dan juga batang leherku. Krek! Krek! Krek!.. lega rasanya. Ku atur posisiku sesantai mungkin, ku tengadahkan kepalaku, ku gantungkan tanganku dan uga kedua kakiku. Sempurna. Lama aku pada posisi ini. Hingga tak terasa pikiranku tengah melayang-layang menuj masa laluku yang indah sekaligus suram. Masa-masa saat aku di pondok dulu. Saat usiaku baru dua belas tahun dan aku hidup jauh dari kedua orang tuaku dengan tujuan menuntut ilmu.
 

“Pokoknya Eneng mah mau mesantren ibu..” pintaku pada ibu sambil merayu dan merajuk.
 

“Memangnya Eneng teh yakin kitu mau mesantren??” Tanya ibu sekali lagi. Aku tatap mata ibu lekat-lekat, berharap ibu bisa melihat keseriusan tekadku.
 

“Yakin!!” akhirnya aku berseru. Ibu yang walaupun masih muda tapi guratan wajahnya memperlihatkan pahitnya hidup yang diarunginya selama ini. Hingga umurnya yang masih tiga puluh lima tahun sudah terlihat seperti lima puluh tahun. Matanya yang cekung, tulang-tulangnya yang menonjol dan ciri fisik ketuaan lainnya. Tak tega memang meninggalkan ibu sendirian di rumah. Tapi tekadku sudah bulat. Tak ada pilihan lain selain meninggalkan ibu sendirian dirumah bersama kedua saudara laki-lakiku. Aku ingin menjadi orang yang berilmu. Itulah cita-citaku. 



***

....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar